Kamis, 23 Oktober 2014

Forum Tanya Jawab : Mempelajari Filsafat

Terinspirasi oleh Prof. Dr. Marsigit, M.A.
Pada Kuliah ke-5 Tanggal 16 Oktober 2014

Mahasiswa1 :
Apakah semua hal yang kita pikirkan atau kita alami harus mampu direfleksikan ?

Dosen :
Satu sifat itu berdimensi meliputi yang ada dan yang mungkin ada. Itu baru satu sifat yang di intensifkan, padahal manusia mempunyai sifat yang meliputi yang ada dan yang mungkin ada. Kita sendiri tidak mampu menyebut semua sifat yang kita punya. Apalah daya pikiran kita untuk mengungkapkan semuanya. Sperti pendapat  Sokrates bahwa ‘aku tidak mengerti apapun’. Apabila semua yang kita pikirkan direfleksikan. Maka akan direfleksikan kepada siapa dan dimana? Jawabnya yaitu direfleksikan kepada yang ada dan yang mungkin ada, hubungan dunia yang satu dengan dunia yang lainnya. Merefleksikan dibatasi oleh ruang dan waktu yitu harus sopan terhadap ruang dan waktu. Sebagai contoh yang tidak sopan terhadap ruang dan waktu yaitu jika intrupsi pada khatib disaat jum’at. Meskipun kita benar tapi jika intrupsi pada shalat jum’at maka tidak sesuai dengan ruang dan waktu.


Mahasiswa2
Kenapa tingkat teratas itu adalah hati dan apakah ada tahapan-tahapan batasan hati kita ?

Dosen :
Sebenarnya apapun yang kita mau taruh palinga atas itu boleh. Misalnya mau taruh wanita cantik paling atas maka boleh, artinya setiap pikiran kita terpaut kepada cewek cantik dan semua kegiatan kita itu untuk cewek cantik , maka kita telah menaruh cewek cantik paling atas :

Skema diatas adalah harapan kita. Dan Indonesia yaitu etik, estetika dan spritual. Sritual termaktub dalam pancasila yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa. Pemikiran tentang spritual itu tidak diatas sudah digagas oleh Auguste Comte. Ia sudah menaruh spiritualitas di paling bawah. Sekarang ini ternyata bukan spiritualitas yang paling atas tetapi trend internasional. Jadi itulah sebabnya maka mau tidak mau kita konsisten dengan budaya pada kehidupan kita.


Mahasiswa3:
Apa bedanya egois, mandiri, dan pribadi ?

Dosen :
Pertanyaan tersebut masuk ke ranah ilmu bidang. Filsafat itu berbeda dengan ilmu psikologi. Psikologi ada filsafatnya, pengendalian dan operasinya atau perlakuannya. Ego itu yaitu manusia hidup dibekali 2 potensi yaitu potensi fatal dan potensi fital. Potensi fatal adalah dia mengikuti suratan takdirnya, dan suratan takdirnya itupun ternyata dipengaruhi oleh ikhtiarnya. Kalau sekarang ikhtiar kita juga potensi kita sebagai wanita, maka itulah takdir kita sebagai wanita. Takdir berikutnya setelah kita berikhtiar, ikhtiar kita di dalam dunia wanita, berarti dengan menggunakan prinsip-prinsip, hukum-hukum, dalil dan teorema, ketentuan teori-teori yang dibuat manusia, dua puluh tahun lagi kita bisa membayangkan sebagai ibu rumah tangga yang mempunyai anak, dan kemudian menjadi nenek. Membaca takdir dalam arti urusan dunia. Disinilah pentingnya berfilsafat yaitu berusaha, berikhtiar untuk mampu mengetahui yang ada dan yang mungkin ada. Namun, dalam batas semampu kita, meskipun tidak ada yang mampu mengetahui semua yang ada dan yang mungkin ada. Maka sebenar-benar manusia adalah manusia yang sempurna ciptaan Tuhan dalam ketidaksempurnaannya. Bersyukurlah memiliki keterbatasan karena dengan keterbatasan itu kita bisa memaknai dan mengetahui hidup ini karena keterbatasan itu.


Mahasiswa4 :
Filsafat ditulis dalam keadaan jernih, saat pikiran dan hati kacau apakah kita boleh berfilsafat ?

Dosen :
Menurut Bapak Marsigit, ketika kita sudah mulai kacau, stop berpikirnya. Ambillah air wudlu kemudian shalat, berdoa, berdzikir, memohon ampun, dan memohon petunjukNYA karena jika dilanjutkan banyak fenomena yang akan terjadi yang tidak diinginkan. Kalau sudah tenang kembali, baru dilanjutkan berpikirnya. Pikiran kacau adalah awal dari ilmu, tapi jangan kekacauan itu turun sampai ke hati, karena kacaunya hati adalah godaan syaitan. Kekacaun pikiran itupun perlu disyukuri karena itu bertanda kita sedang berpikir.  Itulah pentingnya spiritualitas ditaruh pada tingkatan yang paling tinggi. Menurut Prof. Dr. Marsigit, M.A., ada dua cara mengatasi kekacauan pikiran yaitu pertama, intensifkan dan ekstensifkan kerja pikiran secara maksimal dan yang kedua sudahi, jangan gunakan lagi pikiran anda.


Mahasiswa5.
Bagaimanakah ikhlas itu ?

Dosen :
Ikhlas itu adalah urusan hati. Sehebat-hebat pikiranku tidak mampu mengetahui semua relung isi hatiku.


Mahasiswa6 : 
Bagaimanacaranya menggapai pikiran dan hati yang bersih ?

Dosen :
Menurut Bapak Marsigit, segala sesuatu harus sesuai dengan kodratnya dan takdirnya. Kemudian berikutnya adalah mengetahui prinsip-prinsipnya atau dalil-dalinya, beberapa prinsip yang telah dibuat adalah “sehebat-hebat pikiranmu janganlah engkau merasa hebat terhadap hatimu”. Ilmu dalam pikiran itu adalah urusan dunia, sedangkan urusan akhirat yaitu ilmu di dalam hati. Maka wahyu tidak diturunkan ke dalam pikiran para nabi, tetapi ke dalam hati para nabi. Untuk pikiran, pekerjaan itu adalah tesisantitesis, dan sintesis. Tesis itu adalah setiap yang ada dan yang mungkin ada. Diantara tesis dan antitesis adalah sintesis. Belajar berfilsafat adalah belajar menjelaskan. Dalam pikiran berikhtiar melakukan sintesis sesuai dengan ruang dan waktunya, ruang dan waktunya dibatasi oleh etik dan estetika dalam kerangka hati. Kedamaian dalam hati bingkailah dengan doa.


Mahasiswa7 :
 Teologi bilangan itu apa ?

Dosen :
Menurut Bapak Marsigit, teologi bilangan itu adalah esa. Esa itu beda dengan satu. Esa itu adalah Tuhan. Ketika tidak tahu nama sesuatu dimasa depan, maka gunakan bahasa yang dimengerti. Itulah teologi dari pada bilangan. Sosial matematika adalah hubungan antar orang, maka apa yang aku pikirkan, apa yang engkau pikirkan di dalam pikiranmu itu subyektif. Jika pikiran orang yang satu dengan yang lain sama maka dinamakan pikiran yang obyektif. Misalkan, 2 + 3 = 5. Itu benar apabila kita berpikir matematika elementer. Berarti untuk 2 + 3 = 5, pikiran kita sudah mencapai taraf berpikir obyektif karena dipikran kita sama. Subyektifmu sama dengan obyektifmu, karena sama dengan pikiran orang yang lain. Agar mengerti apakah pikiran subyektif benar atau tidak, kita perlu bicara, perlu menulis, perlu mendapat ujian, perlu melakukan kegiatan publikasi agar menjadi pengetahuan obyektif.


Mahasiswa8 :
 Bagaimana bertanya yang baik tentang filsafat ?

Dosen :
Menurut Bapak Marsigit, bertanya itu bukan masalah baik dan tidak baik. Masalah baik dan tidak baik. Baik dan tidak baik jika dipandang dari segi filsafat yaitu etik dan estetika. Etik dan estetika terikat oleh ruang dan waktu. Bertanya itu harus sesuai dengan ruang dan waktunya. Kalau tidak sesuai dengan ruang dan waktunya itu disebut pertanyaan yang buruk. Baik dan buruknya filsafat bergantung pada sesuai atau tidaknya waktunya. Sebenar-benar ilmu adalah sesuai dengan ruang dan waktunya, yaitu sopan terhadap ruang dan waktu.


Mahasisw9 :
Yang tidak ada di dunia itu ada atau tidak ?

Dosen :

Immanuel Kant mengatakan kalau engkau ingin mengetahui dunia maka tengoklah ke dalam pikiranmu. Maka dunia itu persis seperti yang engkau pikirkan. Jadi, dunia itu isomorfis dengan pikiran. Pikiran kita dengan pikiran yang lain juga isomorfis. Yang tidak ada di dalam pikiran kita masing-masing itu ada banyak sekali, tak hingga banyaknya, meliputi yang ada dan yang mungkin ada. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar