Terinspirasi
oleh Prof. Dr. Marsigit, M.A.
Pada Kuliah
ke-5 Tanggal 16 Oktober 2014
Mahasiswa1 :
Apakah semua hal yang kita pikirkan atau kita alami
harus mampu direfleksikan ?
Dosen :
Satu sifat
itu berdimensi meliputi yang ada dan yang mungkin ada. Itu baru satu sifat yang
di intensifkan, padahal manusia mempunyai sifat yang meliputi yang ada dan yang
mungkin ada. Kita sendiri tidak mampu menyebut semua sifat yang kita punya.
Apalah daya pikiran kita untuk mengungkapkan semuanya. Sperti pendapat Sokrates
bahwa ‘aku tidak mengerti apapun’. Apabila semua yang kita pikirkan
direfleksikan. Maka akan direfleksikan kepada siapa dan dimana? Jawabnya yaitu
direfleksikan kepada yang ada dan yang mungkin ada, hubungan dunia yang satu
dengan dunia yang lainnya. Merefleksikan dibatasi oleh ruang dan waktu yitu
harus sopan terhadap ruang dan waktu. Sebagai contoh yang tidak sopan terhadap
ruang dan waktu yaitu jika intrupsi pada khatib disaat jum’at. Meskipun kita
benar tapi jika intrupsi pada shalat jum’at maka tidak sesuai dengan ruang dan
waktu.
Mahasiswa2
Kenapa tingkat teratas itu adalah hati dan apakah ada
tahapan-tahapan batasan hati kita ?
Dosen :
Sebenarnya
apapun yang kita mau taruh palinga atas itu boleh. Misalnya mau taruh wanita
cantik paling atas maka boleh, artinya setiap pikiran kita terpaut kepada cewek
cantik dan semua kegiatan kita itu untuk cewek cantik , maka kita telah menaruh
cewek cantik paling atas :
Skema diatas
adalah harapan kita. Dan Indonesia yaitu etik, estetika dan spritual. Sritual
termaktub dalam pancasila yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa. Pemikiran tentang
spritual itu tidak diatas sudah digagas oleh Auguste Comte. Ia sudah menaruh
spiritualitas di paling bawah. Sekarang ini ternyata bukan spiritualitas yang
paling atas tetapi trend internasional. Jadi itulah sebabnya maka mau tidak mau
kita konsisten dengan budaya pada kehidupan kita.
Mahasiswa3:
Apa bedanya egois, mandiri, dan pribadi ?
Dosen :
Pertanyaan
tersebut masuk ke ranah ilmu bidang. Filsafat itu berbeda dengan ilmu
psikologi. Psikologi ada filsafatnya, pengendalian dan operasinya atau perlakuannya. Ego itu yaitu manusia hidup
dibekali 2 potensi yaitu potensi fatal dan potensi fital. Potensi fatal adalah
dia mengikuti suratan takdirnya, dan suratan takdirnya itupun ternyata
dipengaruhi oleh ikhtiarnya. Kalau sekarang ikhtiar kita juga potensi kita
sebagai wanita, maka itulah takdir kita sebagai wanita. Takdir berikutnya
setelah kita berikhtiar, ikhtiar kita di dalam dunia wanita, berarti dengan
menggunakan prinsip-prinsip, hukum-hukum, dalil dan teorema, ketentuan
teori-teori yang dibuat manusia, dua puluh tahun lagi kita bisa membayangkan
sebagai ibu rumah tangga yang mempunyai anak, dan kemudian menjadi nenek.
Membaca takdir dalam arti urusan dunia. Disinilah pentingnya berfilsafat yaitu
berusaha, berikhtiar untuk mampu mengetahui yang ada dan yang mungkin ada. Namun,
dalam batas semampu kita, meskipun tidak ada yang mampu mengetahui semua yang
ada dan yang mungkin ada. Maka sebenar-benar manusia adalah manusia yang
sempurna ciptaan Tuhan dalam ketidaksempurnaannya. Bersyukurlah memiliki
keterbatasan karena dengan keterbatasan itu kita bisa memaknai dan mengetahui
hidup ini karena keterbatasan itu.
Mahasiswa4 :
Filsafat
ditulis dalam keadaan jernih, saat pikiran dan hati kacau apakah kita boleh
berfilsafat ?
Dosen :
Menurut
Bapak Marsigit, ketika kita sudah mulai kacau, stop berpikirnya. Ambillah air
wudlu kemudian shalat, berdoa, berdzikir, memohon ampun, dan memohon
petunjukNYA karena jika dilanjutkan banyak fenomena yang akan terjadi yang
tidak diinginkan. Kalau sudah tenang kembali, baru dilanjutkan berpikirnya. Pikiran
kacau adalah awal dari ilmu, tapi jangan kekacauan itu turun sampai ke hati,
karena kacaunya hati adalah godaan syaitan. Kekacaun pikiran itupun perlu
disyukuri karena itu bertanda kita sedang berpikir. Itulah pentingnya spiritualitas ditaruh pada
tingkatan yang paling tinggi. Menurut Prof. Dr. Marsigit, M.A., ada dua cara
mengatasi kekacauan pikiran yaitu pertama, intensifkan dan ekstensifkan kerja
pikiran secara maksimal dan yang kedua sudahi, jangan gunakan lagi pikiran
anda.
Mahasiswa5.
Bagaimanakah
ikhlas itu ?
Dosen :
Ikhlas itu
adalah urusan hati. Sehebat-hebat pikiranku tidak mampu mengetahui semua relung
isi hatiku.
Mahasiswa6 :
Bagaimanacaranya
menggapai pikiran dan hati yang bersih ?
Dosen :
Menurut
Bapak Marsigit, segala sesuatu harus sesuai dengan kodratnya dan takdirnya.
Kemudian berikutnya adalah mengetahui prinsip-prinsipnya atau dalil-dalinya,
beberapa prinsip yang telah dibuat adalah “sehebat-hebat pikiranmu janganlah
engkau merasa hebat terhadap hatimu”. Ilmu dalam pikiran itu adalah urusan
dunia, sedangkan urusan akhirat yaitu ilmu di dalam hati. Maka wahyu tidak
diturunkan ke dalam pikiran para nabi, tetapi ke dalam hati para nabi. Untuk
pikiran, pekerjaan itu adalah tesis, antitesis, dan sintesis.
Tesis itu adalah setiap yang ada dan yang mungkin ada. Diantara tesis dan antitesis adalah sintesis.
Belajar berfilsafat adalah belajar menjelaskan. Dalam pikiran berikhtiar
melakukan sintesis sesuai dengan ruang dan waktunya, ruang dan waktunya
dibatasi oleh etik dan estetika dalam kerangka hati. Kedamaian dalam hati bingkailah
dengan doa.
Mahasiswa7 :
Teologi bilangan itu apa ?
Dosen :
Menurut
Bapak Marsigit, teologi bilangan itu adalah esa. Esa itu beda dengan satu. Esa
itu adalah Tuhan. Ketika tidak tahu nama sesuatu dimasa depan, maka gunakan
bahasa yang dimengerti. Itulah teologi dari pada bilangan. Sosial matematika
adalah hubungan antar orang, maka apa yang aku pikirkan, apa yang engkau
pikirkan di dalam pikiranmu itu subyektif. Jika pikiran orang yang satu dengan
yang lain sama maka dinamakan pikiran yang obyektif. Misalkan, 2 + 3 = 5.
Itu benar apabila kita berpikir matematika elementer. Berarti untuk 2 + 3
= 5, pikiran kita sudah mencapai taraf berpikir obyektif karena dipikran kita
sama. Subyektifmu sama dengan obyektifmu, karena sama dengan pikiran orang yang
lain. Agar mengerti apakah pikiran subyektif benar atau tidak, kita perlu
bicara, perlu menulis, perlu mendapat ujian, perlu melakukan kegiatan publikasi
agar menjadi pengetahuan obyektif.
Mahasiswa8 :
Bagaimana bertanya yang baik tentang filsafat ?
Dosen :
Menurut
Bapak Marsigit, bertanya itu bukan masalah baik dan tidak baik. Masalah baik
dan tidak baik. Baik dan tidak baik jika dipandang dari segi filsafat yaitu etik
dan estetika. Etik dan estetika terikat oleh ruang dan waktu. Bertanya itu
harus sesuai dengan ruang dan waktunya. Kalau tidak sesuai dengan ruang dan
waktunya itu disebut pertanyaan yang buruk. Baik dan buruknya filsafat bergantung
pada sesuai atau tidaknya waktunya. Sebenar-benar ilmu adalah sesuai dengan
ruang dan waktunya, yaitu sopan terhadap ruang dan waktu.
Mahasisw9 :
Yang tidak ada
di dunia itu ada atau tidak ?
Dosen :
Immanuel
Kant mengatakan
kalau engkau ingin mengetahui dunia maka tengoklah ke dalam pikiranmu. Maka
dunia itu persis seperti yang engkau pikirkan. Jadi, dunia itu isomorfis dengan
pikiran. Pikiran kita dengan pikiran yang lain juga isomorfis. Yang tidak ada
di dalam pikiran kita masing-masing itu ada banyak sekali, tak hingga banyaknya,
meliputi yang ada dan yang mungkin ada.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar